Jumat, 29 Februari 2008

TROCHLEAR NERVE PALSY

TROCHLEAR NERVE PALSY

ANATOMI
Nervus kranialis IV adalah unik dimana ia keluar dari batang otak bagian dorsal dan menyilang ke sisi lain sebelum sebelum mengelilingi otak sewaktu menuju sinus cavernous. Keadaan anatomis ini rentan terhadap trauma dimana kekuatannya dibawa untuk dibebankan ke bagian dorsal otak tengah. Keadaan ini biasanya terjadi pada seting trauma yang sangat parah dimana batang otak terdorong kebawah dan terayun ke belakang oleh pergeseran mendadak dari sdtruktur-struktur supratentorial. Jalur saraf kranialis IV pada ruang subarachnoid relatif terlindung dari lesi kompresi oleh sudut bebas tentorium yang berdekatan. Didalam sinus cavernous, saraf kranialis IV dapat ditemukan pada lapisan dalam dinding lateral dibawah saraf kranialis III Saraf kranialis IV memasuki orbita melalui fisura orbitalis superior diatas saraf kranialis III namun diluar dari annulus Zinn. Saraf ini berada di superior orbita, menyilang muskulus rektus superior, dan mempersarafi muskulus oblikus superior.

PATOLOGI
Penyebab dari cedera atau lesi yang tersering adalah cedera traumatik. pada trauma kepala tumpul, yang menyebabkan cedera kepala tertutup, kesemua dari tiga saraf okulomotor dapat terkena baik secara perifer maupun sentral, primer maupun sekunder akibat edema dan herniasi.
Deviasi pada mata biasanya terlihat pada tahap awal dari cedera otak, meskipun biasanya sementara. Insidensinya dilaporkan mencapai 3% sampai 7% dari keseluruhan cedera kepala. Trauma cerebri sering mempengaruhi N III, terutama pada anak-anak. Muskulus rektus superior sepertiya yang paling parah terlibat pada trauma tumpul. Trauma tumpul dapat juga merusak spichter pupil secara langsung atau melalui iskhemia, menyebabkan midriasis, respon terhadap cahaya yang buruk, dan gangguan akomodasi. N IV agak jarang terkena namun bisa terkena pada cedera kepala sedang.
N VI memiliki jalur intrakranial terpanjang dari seluruh saraf kranialiss; oleh karenanya cukup rentan terhadap cedera. Lesi Bilateral terjadi dalam banyak kasus; seringkali, cederanya diakrenakan peregangan saraf setelah benturan frontal.
Ophthalmoplegia sebagai akibat sekunder dari fraktur orbita, yang menyerang terutama CN II, III, IV, dan VI; fraktur dapat juga menyebabkan gangguan sensoris dengan rusaknya divisi ophthalmic dari N V. Ophthalmoplegia sebagai akibat sejunder dari fraktur basis kranii yang melibatkan sinus cavernous dapat menyerang semua saraf okulomotor.
Lesi saraf okulomotor harus dibedakan dengan pergeseran orbita yang terjadi pada cedera fraktur hantaman pada orbita. Terperangkapnya muskulus rektus inferior dapat menyebabkan restriksi dalam memandang ke atas. Trauma yang sudah lama atau ophthalmoplegia kronik progresif juga membatasi jangkauan gerak bola mata akibat pemendekan atau fibrosis otot-otot okuler. Penyebab spesifik ini dapat diketahui atau disingkirkan dengan pemeriksaan “forced duction”, yang menggerakkan bola mata secara mekanis dan, oleh karenanya, mengevaluasi jangkauan pergerakan secara pasif.
Luka tembak tembus dapat mengenai saraf-saraf okulomotor sebagaimana hal nya denan N II. Cedera pada spinal servikal bagian atas dapat melibatkan N VI, dan juga N IX, X, XI, dan terutama XII.
Lesi nontrumatik termasuk penyakit peradangan sinus cavernous (Tolosa-Hunt syndrome), yang dapat melibatkan semua saraf kranialis oklomotor dan cabang 1 dan 2 dari N V (Figure 7-17). Penyebab lesi yang lain adalah septic thrombosis pada sinus cavernous. Pada iskemik nuropati diabetika, N III dan VI adalah yang paling sering terkena. Seringkali hanya satu saraf yang tidak terkena.
Pada hipertensi, fasikulus N VI dapat mengalami infark dan timbul sebaai suatu lesi tunggal saraf kranialis. Peradangan dan fibrosis terlihat lebih sering pada thyroid ophthalmopathy, menyebabkan vertical diplopia karena keterlibatan asimetris otot-otot dengan predileksi muskilus rektus inferior atau superior. Suatu myositis pada m. obliq inferior sering terjadi. Ophthalmoplegia progresif kronis yang dikenal dengan Graefe disease. Pada myasthenia gravis, keterlibatan awal terlihat pada rektus medial dan levator palpebrae, monocular ataupun binocular.


Penebab lain yang agak jarang dari ophthalmoplegia adalah Wernike’s encephalopathy, aneurisma atau thrombosis karotis interna, Paget’s disease orbita, dan Guillain-Barré syndrome. Telah dilaporkan bahwa selama anestesi gigi terkadang terjadi paralysis otot-otot okuler pada injeksi anestesi kedalam arteri gigi superior maupun inferior. Obat anestesi dibawa melalui arteri maxillaris, arteri meningea media, arteri lakrimalis, dan akhirnya menuju arteri ophthalmicus. Sebagai komplikasi paska operasi setelah operasi ataupun radioterapi, neuromyotonia okuler dapat terjadi. Insidensinya diperkirakan 0.25% setelah anestesi spinal.
Obat-obatan atau racun seperti phenytoin atau Phenobarbital dapat menyebabkan gangguan konvergensi dan reflek akomodasi. Timbal dapat menyebabkan paralysis muskulus rektus lateralis, yang berkembangn dengan cepat; ophthalmoplegia internal dapat terjadi. Keracunan Metil chlorida dan sodium fluoride dapat menyerupai botulismus.

Sindroma yang melibatkan N IV
Berikt adalah sindroma yang melibatkan saraf IV
o Millard-Gubler syndrome: kelemahan wajah Ipsilateral dan hemiplegia kontralateral, dalam banyak kasus juga melibatkan N VI, menyebabkan suatu strabismus internal. Lesinya terletak di pons.
o Wernicke’s syndrome: kelumpuhan Ocularmotor karena keterlibatan nukleus saraf kranial III atau IV. Ptosis dan perubahan pupil sering ditemukan, karena keterlibatan nucleus red. Neuritis optik, perdarahan retina, ataxic gait, dan kelemahan otot dapat juga terjadi.
o Möbius’ syndrome: Ocular palsy sebagai tambahan dari facial palsy.

TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari lesi saraf okulomotor asalah sebagai berikut
o Diplopia merupakan keluhan tersering dikaitkan dengan lesi saraf okulomotor. Biasanya lebih berat pada arah tot yang lemah. Pada posisi dimana bayangan yang tidak menyatu memiliki pemisahan yang terjauh, bayangan yang paling perifer biasnya berasal dari mata yang mobilitasnya paling terganggu.
o Argyll Robertson pupil miosis dengan gangguan reflek cahaya dan reflek ciliospinal, dengan akomodasi yang tidak terganggu. Differential diagnosis antara lain neurosyphilis, multiple sclerosis, diabetes mellitus, pineal tumor, Wernicke-Korsakoff’s syndrome, dan ensefalitis otak tengah.
o Adie’s pupil (myotonic pupil) sebagai bagian dari Holmes-Adie syndrome. Adalah suatu kondisi pada wanita muda, seringkali berkaitan dengan reflek tendon dalam. Adalah penting untuk mengenali sindroma ini dan menghilangkan pemeriksaan yang tidak perlu.
o Pseudo-Graefe’s syndrome dikarenakan persarafan aberan. Paling sering diamai terjadi setelah lesi pada N III dan VI,
Lesi terisolasi pada N IV jarang terjadi. nervus trochlear dapat terlibat dalam, cedera kepala bahkan dalam trauma yang ringan. Lesi lainnya terjadi terutama berhubungan dengan lesi oculomotor lainnya. Lesi sempurna pada N IV menyebabkan bola mata berputar kedalam dan keluar. Horner’s syndrome dapat muncul jika cederanya dekat dengan serabut simpatis. Tanda dan gejala dari lesi N IV antara lain
o Kelemahan atau paralisis m. obliqus superior, dan
o vertical diplopia, terutama dalam memandang kebawah dan kedalam. Kepela akan miring kea rah yang berlawanan untuk mengkompensasi diplopia. Ini adalah suatu tanda yang khas.


PEMERIKSAAN
Pemeriksaan klinis mengamati pergerakan mata dengan meminta pasien mengikuti suatu rangsangan ringan. Pandangan spontan volunteer maupun reflek tanpa rangsang cahaya juga harus diperiksa. Jika terjadi diplopia, harus ditentukan apakah itu merupakan diplopia monocular ataukah binocular. Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan pemeriksaan kelopak mata; periksa akan adanya ptosis, bagian atas, bawah, ata keduanya. Ukuran pupil selanjutnya harus diperiksa (normalnya 2–6 mm pada cahayanya biasa) dan regularitas (anisocor mencapai 30% adalah normal). Respon terhadap rangsang visual dan akomodasi harus dilakukan. Lebih jauh lagi, pemeriksaan klinis harus menyingkirkan pergerakan abnormal seperti nystagmus. Penting untuk melihat adanya sindroma salah arah, yang dapat diamati beberpa bulan setelah lesi pada N III, sebagai akibat dari regenerasi aberan. Serabut dari otot-otot okuler dapar berregenerasi secara aberan di levator palpebrae, menyebabkan suatu pseudo-von Graefe’s sign (pengangkatan palpebra pada saat hendak melihat kebawah atau kedipan palpebra saat mengunyah). Penting untuk melihat keterlibatan bilateral karena tidak jarang terjadi pada lesi N IV dan VI. Uji mengedikkan kepala menunjukkan suatu lesi N IV. Pengamatan derajat diplopia terbesar pada saat melihat kebawah, dan ini menyebabkan kedikkan kepala kompensatoris ke sisi yang berlawanan.
Pada pemeriksaan harus menyertakan pemeriksaan yang cermat terhadap pandangan untuk menyingkirkan kelumpuhan pandangan konjugasi atau diskonjugasi. Lower motor neuron mengendalikan otot-otot; upper motor neuron menegndalikanj pergerakan dan pandangan. Pandangan harus lebih jauh lagi dievaluasi dengan mengamati pergerakan mata otomatis maupun direncanakan. Penting untuk mencariu adanya defisit saccade. Ini dapat diukur dengan meminta pasien melihat dengan cepat dari satu objek ke objek yang lain. Objek penguji harus diletakkan dalam jarak terpisah 6 inci. Dan berjarak 15 inci dari pasien. Cedera otak ringan dapat menyebabkan aberrant saccades dan oscillasi. Pencitraan CT scans dan MRI scan berguna terutama ketika diplopia tertunda terjadi. P spontan terjadi dalam 9 sampai 12 bulan tidak jarang terjadi. Pada ank-anak, pemulihan mencapai 80% atau 90% telah dilaporkan.

Tanda dan Gejala menurut lokasi lesi Saraf Kranialis IV
Nukleus Kelemahan otot obliqus superior kontralateral lesi karena adanya persilangan.
Fascicular Sama seperti nukleus. Dapat juga terjadi Horner’s syndrome.
Subarachnoid Tidak ada
Sinus Cavernosus Paresis oblique superior, dapat juga melibatkan N III and VI dan cabang dari N V.
Fissura Suborbital Mirip seperti lesi pada sinus cavernosus
Orbita Kelemahan otot oblique superior N III dan VI juga terlibat.

PENATALAKSANAAN
Diplopia pada awalnya ditangani dengan membebat mata. Mata yang normal dibebat untuk mendorong ekskursi sepenuhnya dari mata yang terkena dan untuk memperbaiki fungsinya. Amblyopia karena tidak digunakan tidak terjadi pada orang dewasa dan tidak diperlukan penutupan mata bergantian. Namun demikian, pada saat aktivitas kritis mata yang terkena sebaiknya ditutup untuk memberikan performa yang optimal. Jika pasien mampu untuk mensupresi gambaran kedua, penutupan dapat dihentikan. Latihan Pleoptic sebagaimana dengan alat latihan stereoscopic dapat digunakan untuk meningkatkan ekskursi otot (Worth Four Dot flashlight).
Intervensi lainnya yang dianjurkan adalah penggunaan lensa Fresnel untuk mempertahankan pengelihatan binokuler. Jika setelah waktu oobserasi yang lama (9 sampai 12 bulan) dan latihan yang sesuai, tidak didapatka peningkatan yang signifikan, prosedur pembedahan dapat dipertimbangkan untuk alasan fungsional maupun kosmetik. Prosedur pembedahan seringkali menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama untuk trochlear palsy persisten, nakmun kurang memusakan untuk lesi abducens atau oculomotor. Alternatif lain adalah penyuntikan toksin botulinum (botox) pada berlawanan dengan otot ayng lumpuh.
Penelitian terbaru mengajukan bahwa pendekatan terapeutik yang terbaik untuk disfungsi visual adalah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atensi visual, scanning, pengenalan pola, memori visual, dan terutama pengenalan kembali. Untuk mencapai tujuan ini pendekatan terapeutik menerapkan strategi untuk remediating dan menkompensasi defisit kemampuan yang mendasar, seperti pengendalian oculomotor, lapangan pandang, dan tajam pengelihatan. Defisit lapang pandang paling baik dievaluasi dengan menggunakan perimetri otomatis terkomputerisasi. Lapang pandang yang terbatas dapat ditingkatkan dengan latihan dengan mengulang rangsangan intensif dari hepi lapang pandang yang buta. Kompensasi dari defisit lapang pandang dapat juga ditingkatkan dengan latihan. Sebagaimana telah disebutkan diatas, latihan dapat memperbaiki pengendalian okuler. Tajam pengelihatan harus dioptimalisasi dengan lensa korektif dan memperbaiki kondisi penerangan. Pasien selanjutnya diajarkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap defisit dan bagaimana untuk “seaxara pintar mengatasi” dengan latihan berulang dan perencanaan yang baik tehnik-tehnik kompensasi untuk aktivitas pribadi dan akademis.

ANKYLOSING SPONDYLOSIS

ANKYLOSING SPONDYLOSIS

PENDAHULUAN
Spondylosis (spinal osteoarthritis) adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat menyebabkan hilanganya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Meskipun penuaan adalah penyebab utama, lokasi dan tingkat degenerasi merupakan individual. Proses degeneratif dapat mengenai daerah cervical, thoracal, dan/atau lumbal dari tulang belakang mempengaruhi diskus intervertebralis dan facet joints.

DAERAH YANG TERKENA
Diskus Intervertebralis
Ketika orang menua perubahan biokimiawi tertentu terjadi mempengaruhi jaringan diseluruh tubuh. Pada tulang belakang, struktur dari diskus intervertebralis (anulus fibrosus, lamellae, nucleus pulposus) mungkin mengkompromikannya. Anulus fibrosus tersusun atas 60 atau lebih pita yang konsentris dari serabut collagen yang dinamakan lamellae. Nucleus pulposus iadalah suatu bahan seperti gel didalam diskus intervertebralis yang dibungkus oleh anulus fibrosus. Serabut kolagen membentuk nucleus bersama dengan air, dan proteoglycans.
Efek degeneratif dari penuaan dapat melemahkan struktur dari anulus fibrosus menyebabkan 'bantalan' melebar atau robek. Isi cairan didalam nucleus menurun sesuai dengan usia mempengaruhi kemampuannya untuk melawan efek kompresi (kualitas peredam getaran). Perubahan struktural karena degenerasi dapat mengurangi ketinggian diskus dan meningkatkan resiko herniasi diskus.
Facet Joints (Zygapophyseal Joints)
Sendi facet disebut juga dengan zygapophyseal joints. Masing-masing korpus vertebrae memiliki empat sendi yang bekerja seperti engsel. Ini adalah persendian tulang belakang yang dapat menyebabkan ekstensi, fleksi, dan rotasi. Seperti sendi lainnya, permukaan sendi dari tulang memiliki lapisan yang tersusun dari kartilago. Kartilago adalah jenis jaringan konektif tertentu yang menyediakan permukaan geseran rendah gesekan yang dilubrikasi sendiri. Degenerasi Facet joint degenerasi menyebabkan hilangnya kartilago dan pembentukan osteofit. Perubahan ini dapat menyebabkan hypertrophy atau osteoarthritis, dikenal juga sebagai degenerative joint disease.

Tulang dan Ligamen
Osteofit dapat terbentuk berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang, yang dapat mengurangi aliran darah ke vertebra. Lebih jauh lagi, akhir lempeng dapat kaku-kaku; suatu penebalan/pengerasan tulang dibawah lempeng pertumbuhan.
Ligamen adalah pita dari jaringan ikat yang menghubungkan struktur tulang belakang (vertebrae) dan melindungi terhadap muntahan yang tiak mau rangkai lemah (hyperekstensi). Namun demikian, perubahan degeneratif dapat menyebabkan ligamen kehilangan kekuatannya. Ligamentum flavum (yprimary spinal) dapat menebah dan memburu.

Tulang servikal
Kompleksitas anatomi ini dan pergerakannya yang luas membuat segmen bagian ini rentan terhadap gangguan yang berkaitan dengan dengan perubahan degeneratif. Nyeri leher akibat spondylosis sering terjadi. Nyeri dapat menjalar kebahu atau ke lengan kanan. Ketika suatu osteofit menyebabkan kompresi akar saraf, kelemahan tangan mungkin tidak disadari. Pada kasus yang jarang, osteofit pada dada, dapat menyebabkan kesulitan menelan (dysphagia).

Vertebrae torakalis
Nyeri yang berkaitan dengan penyakit degeneratif seringkali dipicu oleh fleksi kedepan dan hiperekstensi. Pada diskus vertebrae torakalis nyeri dapat disebabkan oleh fleksi - facet pain dengan hiperekstensi.

Vertebrae lumbalis
Spondylosis seringkai mempengaruhi vertebrae lumbalis pada orang diatas usia 40 tahun. Nyeri dan kekakuan badan diperjalanan merupakan keluhan utama. Biasanya mengenai lebih dari 1 vertebrae.
Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar berat badan. Oleh karenanya, ketika tuntutan luar biasa integritas sosial, gejala termasuk nyeri mungkin disertai dengan jalan-jalan. Gerakan merangsang serabut rakyat nyeri pada anulus fibrosus dan facet joints. Duduk dalam waktu yang masih sedikit dan gejala lainnya karena tekanannya pada vertebrae lumbalis. Pergerakan berulang seperti mengangkat dan membungkuk (cth persalinan) dapat meningkatkan nyeri

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh mengungkapkan banyak tentang kesehatan dan keadaan umum pasien. Pemeriksaan termasuk ulasan terhadap riwayat medis dan keluarga pasien. Pemeriksaan laboratorium seperti hitung darah lengkap dan urinalisa seringkali dilakukan.
Pemeriksaan fisik antara lain:
Palpasi untuk menentukan kelainan tulang belakang, daerah yang nyeri tekan, dan spasme otot.
Range of Motion, mengukur tingkatan sampai sejauh mana pasien dapat melakukan gerakan fleksi, ekstensi, miring ke lateral, dan rotasi tulang belakang.
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaaan neurologis memeriksa gejala-gejala pasien termasuk nyeri, kebas, paresthesias, sensasi dan motoris, spasme otot, kelemahan, dan gangguan perut dan kandung kemih. Perhatian khusus terutama pada ekstremitas. Pemeriksaan CT Scan atau MRI mungkin diperlukan jika terdpat bukti disfungsi neurologis.
Pencitraan
Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya tebal diskus vertebral is dan adanya osteofit, namun tidak sejelas CT Scan atau MRI.
CT Scan dapat digunakan untukmengungkap adanya perubahan tulang yang berhubungan dengan spondylosis. Pada MRI mampu memperlihatkan kelainan diskus, ligamen, dan nervus.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan konservatif berhasil dalam 75% dari seluruh waktu. Beberapa pasien mungkin menyangka karena kondisi mereka diberi nama degeneratif mereka akan berakhir di kursi roda suatu waktu nanti. Ini sebetulnya jarang terjadi. Banyak kasus dimanan nyeri dan gejala lainnya dapat diobati dengan berhasil tanpa memerlukan pembedahan.
Selama fase akut, obat anti inflamasi, analgesik, dan pelemah otot dapat diberikan untuk jangka waktu yang pendek. Daerah yang terkena mungkin diimobilisasi. Penyangga servikal lunak dapat digunakan untuk membatasi pergerakan dan mengurangi nyeri. Orthotik lumbal mungkin mengurangi keluaran lumbal dengan menstabilisasi vertebrae lumbalis. Fisioterapi, terapi panas, perangsangan listrik, dan modalitas lainnya dapat digabungkan untuk merencanakan pengendalian spasme otot dan nyeri.
Pembedahan
Terkadang pembedahan diperlukan dalam pengobatan spondylosis atau spinal osteoarthritis. Hal ini biasanya dilakukan jika pengobatan konservatif telah gagal.
Jika terdapat defisit neuroilogis, prosedur pembedahan tertentu dapat dipertimbangkan. Namun demikian, sebelum merekomendasikan pembedahan, perlu diperhatikan usia pasien, gaya hidup, pekerjaan, dan jumlah keterlibatan vertebrae.

PEMULIHAN
Anjuran bagi pasien :
• Minum obat sesuai resep. Laporkan segera jika terjadi efek samping.
• Lakukan program latihan dirumah yang biasanya diberikan oleh ahli fisioterapi.
• Hindari mengangkat benda yang berat dan segala aktivitas yang memperberat nyeri atau gejala lainnya.
• Usahakan berat badan mendekati ideal.
• Berhenti merokok.



DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.emedicine.com/neuro/topic564.htm
2. http://www.emedicine.com/med/topic2901.htm
3. http://www.healiohealth.com/
4. http://www.aans.org/education/journal/neurosurgical/june04/16-6-nsf-toc.asp