Minggu, 16 Januari 2011

SKLEROSIS SISTEMIK

SKLEROSIS SISTEMIK

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Sklerosis sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer dan anti sklero-70 (anti-Scl-70)1. Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang disertai penebalan kulit yang luas dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal dan muka atau tanpa kelainan kulit sama sekali.2

Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud, pertama kali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865. kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1964, Goetz mengusulkan istilah Progressive Systemic Sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas, baik di kulit maupun di organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer mendiskripsikan salah satu varian dari skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut CREST Syndrome (calcinosis, Raynaud’s phenomenon, esophageal dysmotility, skerodactily, teleangiectasis). 3

Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan mendapatkan prevalensi sebesar 19 – 75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 2,9 – 4 : 1. pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 – 44 tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali penderita laki-laki pada usia yang sama. 1,2,3

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita skleroderma pada kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum, ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1,2,4

GAMBARAN PATOLOGI

Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologik yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraseluler pada dermis, terutama kolagen I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aseluler. 5

Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya. Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit. Dengan tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi. 5

Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.

Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang akut yang ditandai oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro, ternyata makrofag alveolar penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin dalam jumlah yang banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang interstitial alveolar sehingga pada akhirnya akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat. 5,6

Pada jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard. 5,7

Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi, tampak gambaran fibrosis pada tunika propia dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrisis maka peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot dan berkurangnya peristaltik, akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat timbul Barrett’s esophagus (gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah. 5,7,8

Pada ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan redupikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda khas infark korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang disertai kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit yang beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat. 8

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan penurunan kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang ringan. Selain itu dapat juga terjadi kelainan seperti yang tampak pada poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit perivaskuler, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan tampak kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur fleksi, terutama pada jari-jari. 5

GAMBARAN IMUNOPATOLOGI

Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.

Beberapa kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya hipergammaglobulinemia poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid dan uji VRDL yang positif palsu. 9

Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi, ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I, anti-Sel-70) didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat pada penderita sklerosis sistemik difus. Enzim DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA. 5,9-13

ANA spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti Ku yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti RNA-polimerase I, II dan III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi pulmonal dan ANA spesifik lainnya (table 1). 10,14,15,16

Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat pada 30% penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 5,10,13

Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi anti-mitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer. 9

Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI. Antibodi anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan perjalanaan penyakit yang lama. 5

Sedangkan penelitian Endo dan kawan-kawan mendapatkan adanya antineutrophilic cytoplasmic antibodies (ANCA), yang berhubungan dengan gagal ginjal dan perdarahan paru. 16

Sampai saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada perusakan sel endotelial. 5

Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik. Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T-8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer) yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang. Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan kelainan vaskuler. 5,9,17

Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9

Abnormalitas humoral

Persentase

Hipergamaglobulinemia poliklonal

Faktor rheumatoid

Antibodi antinuklear (ANA)

Anti DNA-topoisomerase I (Anti-Sel-70)

Anti DNA-histone-complex

Anti nukleolar 7,2-RNP (anti Th-RNP & anti To-RNP)

Anti U3-RNP-associated fibrillarin

Anti U-1 RNP

Anti RNA-polymerase I,II,III

Anti Ku

Anti PM-Sel (PM-1)

Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)

Anti Sel-4

Anti Sel-6

Antibodi antisentromer

Antibodi antimitokondrial

Antibodi antikardiolipin

Antibodi anti-kolagen tipe I

Antibodi anti-kolagen tipe IV

Circulating immune cimplex (CIC)

30%

30 – 50%

95 %

5%

5%

25%

86%

44%

55%

Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis sklerosis sistemik. 5,9

Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat merusak sel endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel. 9

Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL – 1, IL – 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan interferon-gamma (IFN-g). 5,18

Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik 5

Jenis Sitokin

S u m b e r

Peranannya pada patogenesis

Fibronektin

Fibroblas, sel endotel, makrofag, hepatosit

Kemoatraktan monosit & fibroblas, mitogen fibroblas

IL-1

Makrofag, sel endotel, limfosit, fibroblas, sel epitel, osteosit, osteoblas, keratinosit

Mitogen fibroblas, merangsang sintesis kolagen

IL-2

Sel T

Mengaktifkan sel NK menjadi sel LAK

PDGF

Trombosit, fibroblas, makrofag

Mitogen fibroblas

TGF-B

Megakariosit, makrofag, sel epidermal, fibroblas dan sel T

Merangsang sintesis kolagen, merangsang sintesis fibronektin, menghambat pertumbuhan sel endotel, mitogen fibroblas indirek, kemoatraktan fibroblas & monosit merangsang sekresi IL-1

CATP

CATP I : limfosit

CATP III : trombosit

CATP V : sel mesenkimal

Mitogen fibroblas, meningkatkan sintesis glikosaminoglikan

TNF

Makrofag, sel T, sel B, sel NK

Merusak endotel

Endotelin

Sel endotel

Vasokonstriktor

IFN-g

Sel T, sel NK

Aktifator makrofag, diferensiasi sel T menjadi sel T sitolitik, pertumbuhan sel B

FAKTOR GENETIK

Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun demikian peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui. 19

Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC (Major Histocompability Complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLA-A1, B8, DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya dengan HLA-Bw52, DR2 dan DR4. 4,12,19,20

Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel C4-null (C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada penderita sklerosis sistemik yang mengidap gen HLA-DR3. 19

Faktor genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah instabilitas kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom. 19

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup etnik ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada orang berkulit putih di Amerika dan tidak pernah pada orang berkulit hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA polimerase I, II, III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih dan kulit hitam. 21

PATOGENESIS

Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakan-kerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks. 5

Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar 1.


FENOMENA RAYNAUD & KELAINAN VASKULER

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (polar, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase polar dan sianosis, penderita akan merasa nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis, penderita akan merasa seperti terbakar. 3

Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada beberapa penyakit kolagen yaitu 95% pada penderita sklerosis sistemik, 91% pada penderita Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD) dan 40% pada penderita lupus eritematosus sistemik. Selain itu, fenomena Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai trauma akibat perkerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek samping obat (penghambat reseptor-beta), kelainan onkologik dan hematologik (disglobulinemia, kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme. Populasi fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan sekitar 10 – 20 %. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen terutama pada sklerosis sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga kadang-kadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud primer yang tak diketahui penyebabnya. 3,22,24

Table : 3 Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud

pada Sklerosis Sistemik.23

Fenomena Raynaud Primer

Sclerosis Sistemik

· Perempuan : Laki-laki

· Umur mula timbul

· Frekwensi serangan perhari

· Faktor pencetus

· Proliferasi intimal

· Antibodi antinuclear

· Antibodi antisentromer

· Antibodi anti-Sel-70

· Kapilaroskopi abnormal

· Aktifasi trombosit in vivo

20 : 1

Pubertas

Ø 10 x

Dingin, emosi

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

4 : 1

Ø 24 tahun

Ø 5 x

Dingin

Positif

90 – 95%

50 – 60%

20 – 30%

Ø 95%

Ø 75%

Fenomena Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik. Sebagian kecil (5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak mengalami fenomena Raynaud umumnya laki-laki dan mempunyai prognosis yang buruk karena risiko yang tinggi untuk mendapatkan kelainan ginjal dan miokardial. 23,24

Berbagi faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az) dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor endothelin-1. akibatnya akan terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi gangguan deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan meningkat dan oklusi pembuluh darah akan makin berat. 3

Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya iskemi jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. 2

Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang terjadi pada mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit, plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat rentan terhadap perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan krisis renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal. 3,23

Kerusakan vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar berbagai petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM – 1 (interleukin adhesion malecule – 1) serum dan ELAM – 1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule – 1) serum. Peningkatan kadar faktor van Willebrand berhubungan dengan progesifitas fenomena Raynaud, keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas. 23

Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan antikoagulan. 23

Secara non-invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku. 22

KELAINAN KULIT

Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) akibat kompresi nervus medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.

Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh. Kelainan ini patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi.

Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang terbatas pada kulit akan didapatkan pada jari atau jari dan muka.

Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis sistemik sine skleroderma).

Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T.

Kulit yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras terakhir akan membaik lebih dahulu.

Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada muka, jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada subtipe yang terbatas (CREST Syndrome), tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat juga berupa masa yang besar.

Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 3,7

KELAINAN SISTEMIK

Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya terjadi akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.

Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru. Fibrosis paru umumnya terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik toraks. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan bronkoalveolar, akan ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya lebih berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase – 1 dan anti U3 – RNP yang positif dan lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif. 6,16

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif.

Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 – 6 bulan sekali) dan bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi dengan komputer (CT – Scan) dan bilasan bronkoalveolar. 16

Kelainan pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas motorik sehingga timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasi mukosa (metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan tampak pada gambaran radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti. 3,7,8,16

Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan akan meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang-kadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan penebalan perikardium parietal dan viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal. 3,25

Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal yang progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal adalah kelainan vasuker, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid. 3,16,26

Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus. Secara radiologik akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius dan ulna, ramus mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut. 3,7

Pada otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati yang lain juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama otot proksimal dan peningkatan kadar ezim otot serum (keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat miofibril yang mengalami fibrosis. 3,7

Xerostomia ditemukan pada 20 – 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari penderita xerostomia memiliki antibodi terhada presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La). 7,16

Tiroiditis Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis sistemik dan hal ini akan menyebabkan hipotiriodisme. 7

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20 – 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi anti topoisomerase-1 dan anti sentromer harus dilakukan karena memiliki spesifitas yang baik pada sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan meragukan, dapat dilakukan biopsy kulit. 27

Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit. 27

Kriteria ini terdiri atas :

  1. Kriteria mayor :

Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.

Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)

  1. Kriteria minor :
    1. Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari.
    2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
    3. Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor .

Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :

  1. Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
  2. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T= teleangiektasis).
  3. Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis sistemik.
  4. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
  5. Penyakit jarinagn ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.

Table 4. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difus 3

Sklerosis sistemik terbatas

Sklerosis sistemik difus

Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka waktu yang lama.

Progesifitas lambat.

Dapat disertai artralgia ringan, jarang mengenai tendon.

Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus, usus halus dan paru.

10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.

Antisentromer pada 50 – 90% kasus: Anti-topi-1 pada 10 – 15% kasus.

Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang singkat; kelainan kulit timbul sebelum terjadi kelainan fenomena Raynaud.

Pembengkakan tangan dan kaki.

Progesifitas cepat.

Disertai artralgia/artritis, sindrom terowongan karpal.

Semua organ viseral dapat terkena.

Jarang disertai hipertensi pulmonal.

Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1 pada 20 – 30% kasus.

Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan skleroderma en, coup de sabre. 27

Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.

Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang dibawahnya.

Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan terhadap Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial, pemberian golongan obat remitik dan terapi terhadap organ spesifik.

Penyuluhan dan dukungan psikologik memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan penderita sklerosis sistemik, karena perjalanana penyakit ini lama dan progresif.

Berbagai obat golongan remitif yang dapat diberikan pada penderita Sklerosis Sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obat imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih belum menggembirakan.

Fenomena Raynaud, merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik. Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga tetap dalam keadaan hangat, biasanya cukup efektif untuk mengatasi fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, maka dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin atau nitrogliserin topical. Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik dan efek hipotensif yang tidak terlalu besar. 28

Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki perfusi miokard pada penderita sklerosis sistemik.29 Obat lain yang dapat dicoba untuk mengatasi fenomena Raynaud adalah Iloprost, suatu analog prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3 mg/KgBB/menit, 5 – 8 jam/hari selama 3 hari berturut-turut. Selain untuk mengatasi fenomena Raynaud, obat ini juga dapat digunakan untuk mengatasi ulkus pada jari.30

Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi bila sudah timbul ulkus. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan bila ada infeksi skunder. Bila luka cukup dalam, mungkin dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.26

D-penisilamin, menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengatasi kelainan kulit pada sklerosis sistemik, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama.31

Secara in vitro, Interferon-gamma dapat menghambat proliferasi fibroblas dan produksi kolagen. Pada beberapa kasus, obat ini dapat mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif terhadap fenomena Raynaud.28

Obat lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi prokolagen oleh fibroblas adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti efektifitasnya pada penggunaan jangka panjang.30 Demikian juga penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast: N-Asetil-sistein, suatu perangsang pemecahan kolagen, fotofaresis dan globulin antitimosit masih perlu diteliti efektifitasnya.30,31

Artralgia/arthritis dan tenosinovitis biasanya dapat diatasi dengan pemberian anti inflamasi non steroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat dipertimbangkan pemberian injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam jangka waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.27

Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn dan disfagia. Penderita dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi kecil dan sering. Biasanya pemberian antasid, antagonis – H2 dan obat sitoprotektif, cukup efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, dapat dianjurkan pemberian omeprazol. Obat prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila terdapat striktur esophagus, harus dilakukan dilatasi secaraberkala.7,28

Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase makanan dan meningkatkan pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang terakhir dianjurkan untuk mengunakan antibiotik yang berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak feses dan diet tinggi serat. Bila hipomotilitas usus sangat berat dan timbul distensi abdomen, penderita harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.7,28

Pnemonitis interstisial merupakan keadaan yang harus segera diatasi. Pemberian kortikosteriod atau siklofosfamid memberikan hasil yang cukup memuaskan.31,33

Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstisial paru mempunyai prognosis yang buruk, karena tidak ada satupun obat yang dapat mengatasi keadaan ini. 6

Krisis renal dengan hipertensi berat, merupakan komplikasi yang serius dengan angka kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat inhibitor enzim pengkoncersi angiotensin, angka kematian dapat diturunkan secara drastis.28,30,31

PROGNOSIS

Angka harapan hidup 5 tahun penderita sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan hidup akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorbsi.4

Penderita sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin. Hal ini turut meningkatkan angka kematian penderita sklerosis sistemik.4

Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma esofagus sangat rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal (metaplasi Barret). 3,7

Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis penderita Sklerosis Sistemik adalah usia kanjut ( > 64 tahun), penurunan fungsi ginjal (BUN <> 14 gr/dl atau kapasitas vital paksa <>

KESIMPULAN

  1. Sklerosis sistemik adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskuler.
  2. Secara patologik, Sklerosis sistemik akan memberi gambaran fibrosis kulit dan organ viseral lainnya disertai proliferasi tunika intima arteri dan arteriol.
  3. Sklerosis sistemik berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama antibodi anti sklero-70 dan antibodi anti sentromer. Faktor genetik pada kelainan ini masih belum jelas, walaupun banyak penelitian yang menghubungkan kelainan ini dengan gen C4 – null.
  4. Secara klinis, Sklerosis Sistemik memberi gambaran berupa fenomena Raynaud, fibrosis kulit dan manifestasi berbagai organ viseral akibat fibrosis dan kelainan vaskuler pada organ tersebut.
  5. Untuk diagnosis Sklerosis Sistemik, dapat digunakan criteria ARC untuk Sklerosis Sistemik.
  6. Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial, pemberian golongan obat remitif dan terapi terhadap organ spesifik. Ada beberapa golongan obat remitif yang dapat diberikan pada Sklerosis Sistemik, tetapi hasilnya masih kurang menggembirakan.
  7. Beberapa prediktor prognosis yang buruk adalah usia lanjut, penurunan fungsi ginjal, anemia, penurunan kapasitas difusi CO pada paru, penurunan kadar protein serum total dan penurunan cadangan paru.

DAFTAR RUJUKAN

  1. LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome: Epidemiology, Pathology and Pathogenesis. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 1993: 118 – 20.
  2. Steen VD, Medsger TA. Epidemiologi and Natural History of Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N Am 1990: 16 (1): 1 – 10.
  3. Seibold JR. Systemic Sclerosis: Clinical Features. In: Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 8. 1-14.
  4. Silman AJ, Newmwn J. Genetic and Environmental Factors in Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6(6): 607-11.
  5. Smith EA, LeRoy EC. Systemic Sclerosis: Etiology and Pathogenesis. In: Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 9. 1-10.
  6. Silver RM, Miller KS. Lung involvement in Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 199-216.
  7. Medsger TA, Steen V. Systemic Sclerosis and Related Syndromes: Clinical Features and Treatment. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. The Arthritis Foundation. Atlanta, Georgia 1993: 127-30.
  8. Sjorgen RW. Gastrointestinal Motility Disorders in Scleroderma. Arthritis Rheuma 1994; 37 (9): 1265-82.
  9. Postlethwaite AE. Early Immune Events in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 125-40.
  10. Reimer G. Autoantibodies Against Nuclear, Nucleolar and Mitochondrial Antigens in Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 169-84.
  11. McHugh NJ, Whyte J, Harvey G et al. Anti-topoisomerase I antibodies in Siliaca-associated Systemic Sclerosis: A Model for autoimmunity. Arthritis Rheum 1994; 37 (8): 1198-1205.
  12. Hietarinta M. Ilonen J, Lassila O et al. Association of HLA antigen with anti-Sel-70 antibodies and alinical manifestations of Systemic Sclerosis. Br J Rheumatol 1994; 33: 323-6.
  13. Weiner ES, Hildebrandt S, Senecal JL et al. Prognostic significance of anticentromere antibodies and anti-topoasomerase I antibodies in Raynaud disease: A prospective study. Arthritis Rheum 1991; 34 (1): 68-77.
  14. Sato S, Ihn H, Kikuchi K et al. Antihistone antibodies in Systemic Sclerosis: Association with Pulmonary Fibrosis. Arthritis Rheum 1994; 37 (3): 391-4.
  15. White B. Immunologic aspect of Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 612-5.
  16. Wigley FM. Clinical aspects of systemic and localized scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 628-36.
  17. Fiocco U, Rosada M, Cozzi L et al. Early phenotypic activation of circulating helper memory T cells in scleroderma: correlation with disease activity. Ann Rheum Dis 1993; 52: 272-7.
  18. Postletwite AE. Connective tissue metabolism including cytokines in scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 616-20.
  19. Briggs D, Black C, Welsh K. Genetic factors in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 31-52.
  20. Genth E, Mierau R, Genetzky P et al. Immunogenetic associations of Scleroderma- related antinuclear antibodies. Arthritis Rheum 1990; 33 (5): 657-65.
  21. Kuwana M, Okano Y, Kaburaki J. Racial differences in the distribution of Systemic Sclerosis-related serum anti-nuclear antibodies. Arthritis Rheum 1994; 37 (6): 902-6.
  22. Carpentier PH, Maricq HR. Microvasculature in Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 75-92.
  23. Kahaleh MB. Raynaud’s phenomenon and vascular disease in Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 621-7.
  24. Kahaleh MB. Matucci-Cerinic M. Raynaud’s phenomenon and Scleroderma: Dysregulated Neuroendothelial Control of Vascular tone. Arthritis Rheum 1995; 18 (1): 1-4.
  25. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Cardiac score: A semiquantitative measure of cardiac invollement that improves prediction of prognosis in Systemic Sclerosis. Arthritis Rheum 1991; 34 (11): 1371-80.
  26. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Abnormalities of renal physiology in systemic sclerosis: A prospective study with 10-year follow up. Arthritis Rheum 1994; 37 (1): 67-74.
  27. Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 1987: 747-52.
  28. Steen VD. Systemic Sclerosis: Management. In: Klippel JH, Dieppe PA (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 10.1-8.
  29. Duboc D, kahan A, Maziere B et al. The effect of nifedipine on myocardial perfusion and metabolism in Systemic Sclerosis: A positron emission tomographic study. Arthritis Rheum 1991; 34 (2): 198-203.
  30. Hoogen FHJ, Putte LBA. Treatment of Systemic sclerosis. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 637-41.
  31. Torres MA, Furst DE Treatment of Generalized Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 217-42.
  32. Steen VD, Lanz JK, Conte C et al. Therapy for severe interstitial lung disease in Systemic Sclerosis: A retrospective study. Arthritis Rheum 1994; 37 (9): 1290-6.
  33. Akesson A. Scheja A, Lundin A et al. Improved pulmonary function in systemic sclerosis after treatment with cyclophosphamide. Arthritis Rheum 1994; 37 (50): 729-35.
  34. Altman RD, Medsger TA, Bloch DA et al. Predictors of survival in Systemic sclerosis (Scleroderma). Arthritis Rheum 1991; 34 (4): 403-13.